Sumber : Association for Temperate Agroforestry (http://www.aftaweb.org/)
1.
Pengertian dan Ciri Agroforestri
Agroforestri
adalah sistem penggunaan lahan yang
mengkombinasikan atau memadupadankan pengelolaan tanaman kehutanan (tanaman
keras) dengan tanaman pertanian (tanaman semusim) dengan tujuan untuk memanfaatkan
lahan secara optimal untuk meningkatkan keuntungan, baik secara ekonomis maupun
lingkungan. Berdasarkan pengertiannya kata “agroforestry” berasal dari “agro”
dan “forestry” yaitu “agro” adalah pertanian dan ‘forestry” adalah kehutanan. Sehingga
pada penerapan sistem ini terciptalah keanekaragaman jenis tanaman yang berada
pada satu luasan lahan tertentu yang dapat dipanen secara periodik. Selain itu
penerapan sistem ini memperkecil resiko gagal panen karena memiliki jenis
tanaman yangh heterogen pada luasan wilayah tertentu.
Menurut
Lundgren dan Raintree (1982), Agroforestri adalah istilah kolektif untuk
sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan yang secara terencana
dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengombinasikan tumbuhan berkayu
ataupun tidak berkayu (pohon, perdu, palem, bambu, dll.) dengan tanaman
pertanian dan/ atau hewan (ternak) dan/ atau ikan yang
dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk
interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada. Sedangkan
menurut Nair (1989), Agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem
penggunaan lahan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohon, perdu,
jenis palm, bambu, dll) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian dan atau
hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau
urutan temporal, dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan
ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan.
Agroforesrti juga dikenal dengan istilah “Wanatani”
yang dimana “Wana” adalah hutan dan “Tani” adalah pertanian. Penerapan sistem
ini pada dasarnya sudah banyak dilakukan oleh sebagian besar petani Indonesia
karena dilatarbelakangi oleh keterbatasan lahan-lahan akibat pertumbuhan
penduduk Indonesia dan ketersedian lahan pertanian yang berbanding terbalik.
Sehingga dapat dikatakan sistem Agroforestri merupakan salah satu solusi untuk
petani yang ada di Indonesia khususnya.
Beberapa
ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982), adalah:
· Agroforestri
biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan).
Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
· Siklus
sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
· Ada
interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak
berkayu.
· Selalu
memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak,
kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
· Minimal
mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung
angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya
keluarga/masyarakat.
· Untuk
sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada
penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan
penggunaan sisa panen.
· Sistem
agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi)
maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
2. Jenis-jenis Agroforestri
Menurut De Foresta dan Michon
(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu sistem
agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Berikut penjelasannya
:
a. Sistem Agroforestri Sederhana (Tumpang sari)
Berdasarkan
pengertian sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian yang
memadupadankan satu jenis tanaman tahunan (pepohonan) yang ditanam secara
tumpang sari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan ditanam
dan doijadikan sebagai pagar yang mengelilingi petak lahan yang ditanami
tanaman semusim dan ditanam berdasarkan pola dan jarak sesuai keinginan. Sebagai
contoh yaitu larikan sehingga membentuk lorong atau pagar.
Jenis-jenis
pohon yang ditanam juga sangat beragam serta dapat menanam pepohonan yang
bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat),
nangka, melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah
seperti dadap, lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar
pada tanaman pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, palawija,
kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman
lainnya seperti pisang, kopi, coklat.
Penerapan
sistem agrofoesrti sederhana ini banyak dijumpai pada sistem pertanian
tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini timbul sebagai
salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan karena adanya
kendala alam.
Tumpang
sari adalah contoh dari sistem agroforestri sederhana. Sebagai contoh di daerah
jawa masyarakat yang hidup berdampingan dengan lokasi perkebunan jati milik
Perhutani memperoleh kesempatan untuk mengelola lahan-lahan disekitar pemukiman
untuk diolah dan dimanfaatkan dengan cara sistem tumpang sari yaitu menanam
tanaman semusim dimana hanya dapat memanfaatkan dan mengambil hasil dari
tanaman semusim tanpa mengganggu atau menebang pohon jati milik Perhutani.
Disamping itu ada sisi ekonomi dan social untuk masyarakat yang tinggal didekat
lokasi perkebunan milik Perhutani.
b. Sistem Agroforestri
Kompleks (Hutan dan Kebun)
Sistem
agroforestri kompeks adalah sistem yang melibatkan struktur vegetasi yaitu dari
semai, panjang, tiang hingga pohon dan juga tumbuhan merambat (liana) serta
tanaman semusim dalam jumlah yang banyak. Penciri utama dari sistem
agroforestri kompleks ini yaitu kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya yang
mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun hutan sekunder, oleh
karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai agroforestri.
Sistem
agroforestri kompleks dibedakan menjadi dua berdasarkan jaraknya terhadap
tempat tinggal yaitu: (a) kebun atau pekarangan berbasis pohon yang letaknya di
sekitar tempat tinggal dan (b) agroforestri yang biasanya disebut hutan yang
letaknya jauh dari tempat tinggal. Sebagai Contoh, hutan damar di daerah Krui,
Lampung Barat atau hutan karet di Jambi.
3.
Bentuk-bentuk Agroforestri
Berdasarkan
bentuknya, agroforestri terbagi menjadi tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan
peternakan. Pada dasarnya ketiga komponen tersebut dapat berdiri
sendiri-sendiri dan menjalankan fungsinya sendiri akan tetapi ketiga komponen
tersebut jika dipadupadankan akan menunjukan ke-khasan komuditi dari ketiga komponen
atau sektor tersebut. Berikut bentuk agroforestri :
a) Agrisilvikultur
yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu,
palem, bambu, dan lain-lain.) dengan komponen pertanian.
b) Agropastura
yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen
peternakan
c) Silvopastura
yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan
d) Agrosilvopastura
yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan
peternakan/hewan
Dari keempat kombinasi tersebut,
yang termasuk dalam Agroforestri adalah Agrisilvikutur, Silvopastura dan
Agrosilvopastura. Sementara Agropastura tidak dimasukkan sebagai Agroforestri,
karena komponen kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi
tersebut. Di samping empat kombinasi tersebut, Nair (1987)
menambah sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai agroforestri.
Beberapa contoh yang menggambarkan sistem lebih spesifik yaitu:
e) Silvofishery yaitu kombinasi antara komponen
atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.
f) Apikultur yaitu
budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan.
4. Tujuan Agroforestri
Tujuan adanya sistem agroforestri ini adalah meningkatkan
kesejahteraan rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan
memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan
lingkungan yang rusak dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program
agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktivitas
sumberdaya, yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tujuan
tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif
antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian,
ternak/hewan, perikanan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut
dengan lingkungannya. Sedangkan tujuan pengembangan Agroforestri antara lain :
a. Pemanfaatan
lahan secara optimal yang ditujukan kepada produksi hasil tanaman berupa kayu
dan non kayu secara berurutan dan/atau bersamaan.
b. Pembangunan
hutan secara multi funfsi dengan melibatkan peran serta masyarakat secara
aktif.
c. Meningkatkan
pendapatan petani/penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia
dan meningkatnya kepedulian warga masyarakat terhadap upaya peningkatan
kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya guna mendukung proses pemantapan
ketahan pangan masyarakat.
5. Pengembangan
Agroforestri
Pengembangan
Agroforestri memperhatikan
kondisi areal yang dipilih dan kondisi sosial ekonomi masyarakat, berikut adalah pengembangan agroforestri yaitu :
a. Tanaman Pokok : adalah tanaman kehutanan yang merupakan prioritas utama tanaman yang ditujukan sebagai produksi kayu dengan penentuan daur tebang selama 5 tahun. Jenis tanaman salah satunya yaitu jenis sengon (Faraserianthes falcataria).
b. Tanaman Semusim (Tahap I) : merupakan tanaman pertanian yang berrotasi pendek, ditanam diantara tanaman pokok dengan jarak minimal 30 cm dari batang tanaman pokok. Waktu penanaman dilaksanakan pada tahun pertama atausebelum tanaman pokok berusia satu tahun, jenis tanaman yang dipilih kacang tanah.
c. Tanaman semusim (Tahap II) : dipilih tanaman pertanian berrotasi pendek yang dapat tumbuh dengan atau tanpa naungan, ditanam setelah panen tanaman semusim tahap pertama (kacang tanah) sampai batas waktu tanaman pokok berumur dua tahun. Jenis tanaman yang dipilih adalah jahe Gajah.
d. Tanaman Keras : merupakan tanaman pertanian yang berotasi panjang atau tanaman perkebunan yang dapat hidup dibawah naungan dan bukan sebagai pesaing bagi tanaman pokok dalam memperoleh cahaya. Ditanaman setelah tanaman pokok berurmur 2 tahun, menempati lahan diantara tanaman pokok, tujuan penanaman untuk untuk memperoleh hasil buah (non kayu). Jenis yang terpilih adalah tanaman kopi .
6.
Keunggulan Sistem Agroforestri
Menurut
Hiriah, Sarjono dan Sabarudin (2003), Keunggulan agroforestri dibandingkan
sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
- Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur. Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun. Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
- Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar. 11 Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur)
- Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produkproduk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur.
- Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas dan kesinambungan pendapatan petani.
Daftar Pustaka :
De Foresta, Kusworo HA, Michon G, Djatmiko WA. 2000.
Ketika kebun berupa hutan-Agroforest khas Indonesia-sebuah sumbangan
masyarakat. Bogor: ICRAF.
Hairiah, K., Sarjono, M.A, Sabarudin, M.S. 2003.
Pengantar Agroforestry. Bruno Verbist World Agroforestry Center (ICRAF), Bogor.
Lundgren B O, Raintree J B. 1982. Sustained
Agroforestry. In Nestel B. 1982. Agricultural Research for
Development. Potentials and Challanges in Asia. ISNAR, The Hague,
Netherlands. 37-49.
Nair PKR. 1987. Agroforestry System Inventory.
Agroforestry Systems 3: 375-382.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar