Minggu, 20 Agustus 2017

Faktor-faktor Penyebab Illegal Logging di Indonesia

A. Latar Belakang  Illegal Logging

Illegal logging atau pembalakan liar yang dilakukan di dalam maupun di luar kawasan hutan sepertinya bukan suatu hal yang baru. Praktik Illegal logging sudah terjadi sejak tahun 1980 setelah Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang Hak Penguasaan Hutan (HPH). Akan tetapi praktik tersebuh berjalan masif dan tak terbendung dengan kata lain praktik ini sudah dilakukan secara terang-terangan. Oknum yang terlibat bukan saja penjabat berasal dari kalangan penjabat tingkat kota bahkan hingga sampai sekelas Menteri. Kemudian barulah pada era 1985 – 1997 terjadi pembukaan lahan baru sekitar 4 juta ha hutan untuk dicetak sebagai sawah baru tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Kondisi tersebut telah menjadikan hutan kita mengalami deforestasi dan degradasi hutan secara besar-besaran pada hampir 40 tahun terakhir. Kondisi ini diperparah dengan tiadanya usaha untuk menghijaukan kembali hutan yang telah dibabat habis dan ditinggalkan oleh pengusaha HPH maupun oleh petani tradisional akibat berkurangnya potensi lahan secara ekonomis.

Sehingga pada tahun 2001, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomer 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal (Illegal logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Puting. Kemudian 4 tahun berikutnya keluarkan kembali Instruksi Presiden (Inpres) tentang Pemberantasan Penebangan Kaya secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Indonesia masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 18 Maret 2005 tidak kurang dari 16 menteri dan pejabat setingkat menteri serta seluruh gubernur dan bupati se-Indonesia mendapat tugas untuk meningkatkan, mempercepat dan menguatkan koordinasi dalam menanggulangi penebangan liar di Indonesia (Kompas, 2005).


B. Pengertian Illegal Logging

Secara garis besar Illegal logging dapat diartikan kegiatan pengambilan hasil hutan berupa kayu (HHK), log kayu dan sebagainya yang berada di dalam mapaun di kawasan hutan tanpa izin resmi dari pemerintah setempat. 

Berikut adalah pendapat para ahli mengenai definisi illegal logging :

1. Illegal logging adalah salah satu penyebab kerusakan hutan sehingga dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menjelaskan bahwa kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

2.  Kemudian pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2001, illegal logging adalah penebangan kayu di kawasan hutan dengan tidak sah.

 3. Menurut Kartodiharjo (2003), illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

4. Illegal logging berarti rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengelohan hingga kegiatan ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan (Utami, 2007).

5. Haryadi Kartodiharjo (2003), illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

6. Operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak termasuk kategori illegal logging (LSM Indonesia Telapak, 2002).

7. Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan ekploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran, dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak (Wahyu Catur Adinugroho, 2009).

8. Selain illegal logging ada juga istilah pembalakan illegal, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak. Pembalakan illegal adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia (Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch).

9. Pembalakan liar atau Illegal loging yaitu rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hokum yang berlaku. Kegiatan ini dipandang sebagai perbuatan yang dapat merusak hutan (Santoso, 2011).

10. Pembalakan yang merusak (destructive logging) yaitu penebangan hutan yang melanggar prinsip-prinsip kelestarian yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi dari pemerintah. (UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Santoso, 2011). 

11. Menurut FWI Simpul Papua, Illegal logging ada dua jenis yaitu : 1) yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya, 2) melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.


C. Faktor yang menyebabkan Terjadinya Praktik Illegal logging di Indonesia

Banyaknya praktik illegal logging di Indonesia bukan tanpa alasan, beberapa faktor yang mendorong terjadinya praktik illegal logging ini adalah sebagai berikut :

1. Setalah di keluarkannya izin Hak Pengusaan Hutan (HPH) tahun 1980, banyak pengusaha dan bahkan oknum pemerintah yang nakal baik dalam eksploitasi sumber daya alam atau bahwa memberikan akses atau "kartu jalan tol" artinya adalah adanya permainan di dalam badan pemerintah yang tak lain di isi oleh oknum-oknum pemerintah yang tamak dan rakus.

2. Kemiskinan merupakan faktor utama terjadinya pencurian kayu khususnya pada masyarakat yang tinggal pada sekitar atau di dalam kawasan hutan tersebut. Sehingga mendorong mereka untuk mencuri kayu di dalam kawasan hutan hanya demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

3. Lemahnya penegakan hukum yang mengatur tentang praktik illegal logging. Akan tetapi penegakan hukum yang terjadi saat ini di Indonesia adalah hukum yang runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Artinya tidak ada keberpihakan hukum kepada mayarakat kecil, hanya oknum-oknum nakal dari tataran pemerintah dan pengusaha nakal yang akan lepas dari jeratan hukum, sedangkan masyarakat yang lemah dan tidak punya kekuatan hukum atas praktik pencurian kayu atau illegal logging dengan mudah terjerat hukum.

4. Upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan belum optimal. Dimana masyarakat sekitar hutan pada dasarnya menggantungkan hidup pada sumber daya hutan.

5. Sistem pengawasan oleh aparatur masih belum berjalan dengan baik. Sehingga apabila terjadi pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh oknum aparatur tertentu maka akan sulit untuk ditetapkan sebagai saksi yang jelas.

D. Kendala dalam Pemberantas Praktik Illegal Logging di Indonesia



Menurut Adinugroho (2009), ada beberapa kendala yang membuat aktivitas praktik Illegal logging sulit diberantas di Indonesia yakni :

1. Penebangan liar didukung oleh penyokong dana atau cukong yang beroperasi layaknya institusi kejahatan yang terorganisir. Artinya lancarannya praktik illegal ini tidak lepas dari peran serta oknum pemerintah tertentu dalam memperhalus jalan penyokong dana dalam hal ini adalah pengusaha nakal.

2. Pembalakan liar dan praktek-praktek terkait lainnya semakin marak karena adanya korupsi.

3. Terdapat suatu perasaan tidak nyaman pada individu-individu yang bertanggungjawab yang prihatin dengan pembalakan liar serta masalah-masalah yang terkait lainnya.



Daftar Pustaka :

Kompas. 2005. Edidi 23 Februari 2005. Hlm 4.

Deforestasi dan Degradasi Hutan. FWI Simpul Papua. http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf

Ekosistem Hutan Sumatera Didalam “Hotspot” Keanekaragaman Hayati Sundaland, Critical System Partnership Fund. www.cepf.net/Documents/final.bahasa.sundaland.sumatra.ep.pdf

Utami, T. B. 2007. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging.
eprints.undip.ac.id/17562/1/TUTY_BUDHI_UTAMI.pdf

Kartodiharjo, H. 2003. Modus Operandi, scientific Evidence dan Legal Evidence dalam kasus P[encurian Kayu, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang di selenggarakan oleh ICEL bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI. Jakarta.

Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. 2002. images.prabang.multiply.multiplycontent.com. Diakses 20 Agustus 2017.

Majalah Intip Hutan Edisi Juni. 2004. Memberantas Penebangan Merusak Bersama Kapal Warrior. fwi.or.id/publikasi/intip_hutan/Memberantas.pdf

Bambang Setiono dan Yunus Husain, 2005. Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan Yang Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang. Occasional Paper Nomor 44. Center For International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-44i.pdf

Santoso, T. 2011. Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu. Center For International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. data.tp.ac.id/dokumen/penuntutan+hukum

Adinugroho, W. C. 2009. Penebangan Liar (illegal logging) Sebuah Bencana Bagi Dunia Kehutanan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. rivafauziah.files.wordpress.com/.../penebangan-liar-sebuah-bencan

Kamis, 17 Agustus 2017

Laporan Hidrologi Hutan - Pengelolaan dan Peraturan DAS Terpadu



KEBIJAKAN DAN PERATURAN DALAM PENGELOLAAN DAS TERPADU DI INDONESIA
(Tugas Makalah Mata Kuliah Daerah Aliran Sungai)






Oleh :
Cindy Yoeland Violita
1114151012






Hasil gambar untuk logo unila






FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014





I.    PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

Peningkatan kemajuan dalam kehidupan telah memberikan perubahan besar, tidak saja pada kehidupan social ekonomi masyarakat akan tetapi juga pada pola penggunaan lahan. Perubahan pola penggunakaan lahan ini telah memberikan dalmpak sangat nyata terhadap fungsi-fungsi daerah aliran sungai (DAS) dan hidrologi DAS. Sejumlah kasus perubahan penggunaan lahan dibeberapa DAS di Indonesia disajikan pada hubungan sebab bakibat melalui aspek hidrologi DAS, khususnya menyangkut daya dukung DAS dan frekuensi banjir. Karekteristik hidrologi dan aliran permukaan sejumlah sungai utama di Indonesia disajikan dengan menunjukan tingkat perkembangan penggunaan lahannya.  

Kemudian jika dilihat dari perkembangan dewasa ini yang menunjukkan adanya pergeseran paradigma di bidang sumber daya air , yang antara lain berupa perubahan cara pandang terhadap pungsi air dari yang semula benda sosial menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial, peran pemerintah dari provider menjadi enabler, tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis, sistem pembangunan dan pengelolaan  dari government centris menjadi public-private-community participation, pelayanan dari birokratis- normatif  menjadi profesional-responsif dan fleksibel-netral, penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up.

Akibat dari perubahan penggunaan lahan, maka telah terjadi dalam skala luas, khususnya di pulau Jawa, dan telah memberikan dampak nyata terhadap hasil air DAS dengan semakin meningkatnya frekuesi kejadian ekstrim seperti banjir dan kekeringan. Menurut Pawitan (2004), menyatakan bahwa dalam kurun waktu setengah abad terakhir tealah terjadi penurunan jumlah curan hujan secara luas di Jawa dan dibeberapa wilayah lain di Indonesia dibandingkan dengan penurunan luas hutan. Salah satu DAS yang telah mengalami degradasi akibat perubahan penggunaan lahan adalah DAS Ciliwung dan termaksud salah satu dari 3 DAS dalam kondisi sangat kritis. Perubahan penggunaan DAS ini dapat diindentifikasikan sebagai sinyal adanya perubahan perilaku. Fanomena banjir dan kekeringan serta sedimentasi di sepanjang baadan sungai merupakan permasalahan utama pada pengelolaan sumberdaya air di hampir semua wilayah sungai. Upaya konservasi sumberdaya air belum secara optimal melibatkan masyarakat, dan selama ini diketahui bahwa aktifitas manusia lebih dominan sebagai penyebab timbulnya permasalahan tersebut.

Aspek desentralisasi dituangkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang menetapkan Daerah mempunyai kewenangan otonomi yang luas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan yang antara lain mencakup kewenangan pengelolaan sumber daya nasional di daerah, baik sumber daya alam, sumber daya buatan maupun sumber daya manusia. Untuk sumber daya alam yang bersifat strategis, Pemerintah menetapkan kebijakan pendayagunaannya.. Menindaklanjuti PP 25 Tahun 2000 pasal 2 ayat 3 angka 4 huruf e bidang kehutanan dan perkebunan, maka dirasakan perlunya sebuah pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS, baik dinas, instansi, swasta, lembaga masyarakat, maupun stakeholders lainnya.

1.2     Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1.   Memberikan arahan umum atau acuan dalam menyelenggarakan pengelolaan DAS yang disesuaikan dengan perkembangan dan pergeseran paradagima dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan.
2.   Membentuk persamaan persepsi dan langkah dalam penyelenggaran pengelolaan DAS sesuai dengan karateristik ekosistemnya, sehingga pemanfaatan sumber daya alam dapat berlangsung secara optimal, berkeadilan, dan berkelanjutan.

II. ISI
                             

Menurut Sinukaban (2007), wilayah DAS adalah satu kesatuan bio-region yang harus dipahami secara holistik dan komprehensif oleh penyelenggara pembangunan. Daerah Aliran Sungai (DAS) juga dapat diartikansebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Dari definisi diatas, maka dapat  disimpulkan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana terdapat unsure organism dan lingkungan biofisik serta unsure kimia berinteraksi secara dinamis dan didalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material energo. Selain itu pengelolaan DAS dapat disenutkan merupakan bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam pengelolaan DAS secara terpadu, terlebih dahulu kita harus mengetahui beberapa hal sebagai berikut :
I.       Fungsi DAS
Berdasarkan fungsinya, DAS memiliki 3 fungsi utama yaitu :
o   DAS pada bagian hulu yaitu berfungsi sebagai konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi, kualitas air, kemampuan penyimpanan dan curah air. Bentuk konservasi yang dapat kita lakukan untuk melindungi DAS pada bagian hulu yaitu dengan cara peneneman pohon disepanjang kiri-kanan aliran DAS, kegiatan ini secara tidak langsung memberikan dampak yang besar terhapat keberlangsungan den keletarian pada bagian hulu DAS.
o   DAS pada bagian tengah berdasarkan fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kualitas air, kuantitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasaran pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk dan danau.
o   DAS pada bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan ocial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kualitas air, kuantitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait dengan kebutuhan pertanian, air bersih serta pengelolaan air limbah.

Permasalahan pengelolaan DAS saat ini adalah letaj hulu sungai yang biasanya berada pada suatau kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta hilirnya berada dikabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu system terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Asdak (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatuan, yaitu sebagai berikut :
o   Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan dibagaian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau social ekonomi dibagian hilir dari DAS yang sama, maka  perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan.
o   Eksternalities, adalah dampak (negatif/positif) suatu aktifitas atau program dan atau kebijakan yang dialami dan dirasakan diluar daerah dimana program dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukaan bahawa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi : (a) masyarakat diluar wilayah kegiatan (spatial externalities), (b) masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities), dan (c) kepentingan berbagai sector ekonomi yang berada yang berada di luar lokasi kegiatan (sektoral externalities).

Pada penanganan DAS bagian hulu diarahnya pada kawasan budidaya (pertanian) karena secara potensial merupakan proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan tersebut. Untuk itu agar proses terpeliharanya sumber daya tanah akan terjamin, maka pada setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan atau kesesuaian lahan. Dengan ketersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuaian jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budidaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun administrative, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan, teknologi, serta penyediaan pendanaan, yang dapat dijelaakan pada gambar berikut.



 



Hidrologi perencanaan DAS secara terpadu kurang memperhatikan aspek-aspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan, misalnya anatara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industry, kepentingan daya dukung lingkungan. Perkembangunan pembangunan, dan eksploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologi suatu DAS yang menyababkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpanan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau. Ketika air hujan seringkali meyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada beberapa kasus sungai tidak terdapat aliran air.
Menurut Kartodiharjo dan Murtilaksono (2000), Pada prinsip kebijakan pengelolaan DAS secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumber  daya air bagi segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini oleh karenanya merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang didasarkan pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suau keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan suatu daerah. Dengan beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan keputusan untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan DAS secra berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja (framework).
II.    Kerangka Pikir Pengelolaan DAS Terpadu
Dalam pengelolaan DAS harus jelas tujuan dan sasaran yang diinginkan. Sasaran pengelolaan DAS yang ingin dicapai pada dasarnya berupa: Terciptanya kondisi hidrologis yang optimal, meningkatnya produktivitas lahan yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan masyarakat, terbentuknya kelembagaan masyarakat yang tangguh dan muncul dari bawah (bottom-up) sesuai dengan sosial budaya setempat dan terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Oleh karena itu perumusan program dan kegiatan disamping harus berorientasi pada pencapaian tujuan dan sasaran, juga harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempertimbangkan pergeseran paradigma, karateristik DAS, peraturan/perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip dasar pengelolaan DAS. Menurut Uraian secara sistematis dan rinci tentang pengelolaan DAS terpadu disajikan dalam kerangka pikir sebagaimana tertera pada gambar 2.


Gambar 2. Kerangka Pikir


III.             Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu

Didalam pengelolaan terpadu bukan saja mengkaji bagaimana kondisi dilapangan saja, melainkan untuk dapat mengelola DAS agar dapat berkelanjutan, kita harus memiliki landasan hukum yang menyangkut kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), terdapat kebijakan ynag mengatur pengelolaan DAS berdasarkan Hierarki tersusun sebagai berikut :

a.    Undang-Undang Dasar
1.      Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
2.      Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

b.   Ketetapan MPR
1.      Ketetapan MPR No. IX/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;
2.      Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.

c.    Undang-Undang
1.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;
2.      Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara;
3.      Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan;
4.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
5.      Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
6.      Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;
7.      Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
8.      Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
9.      Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah (Pusat) dan Daerah;
10.  Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
d.   Peraturan Pemerintah
1.      Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air;
2.      Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi;
3.      Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air;
4.      Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai;
5.      Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang;
6.      Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
7.      Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1999 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

e.    Keputusan Presiden
1.      Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
2.      Keputusan Presiden No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah;
3.      Keputusan Presiden No. 165 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;
4.      Keputusan Presiden No. 234/M Tahun 2000 tentang Pembentukan Kabinet Periode Tahun 1999-2004 jo. Keppres No. 289/M Tahun 2000.
Dalam pengelolaan DAS terpadu adanya kebijakan ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaaanya dan dengan adanya kebijakan ini dapat memberikan suatu arahan yang benar sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Kebijakan Dasar dalam pengelolaan DAS dilakukan secara holistik, terencana dan berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan baik untuk kehidupan maupun penghidupan dan menjaga kelestarian lingkungan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Kemudian selain itu, kebijakan dasar pengelolaan DAS meliputi sebagai berikut :
a.    Pengelolaan DAS dilakukan secara desentralisasi dengan pendekatan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaaan.
b.   Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasar prinsip partisipasi dan konsultasi masyarakat pada tiap tingkat untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak berkepentingan (stakeholders).
c.    Pengelolaan DAS memerlukan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat guna mengurangi secara bertahap beban Pemerintah dalam pengelolaan DAS.
d.   Masyarakat yang memperoleh manfaat atas pengelolaan DAS secara bertahap (baik secara langsung maupun tak langsung) wajib menanggung biaya pengelolaan berdasar prinsip kecukupan dana (cost recovery).
e.    Sasaran wilayah Pengelolaan DAS adalah wilayah DAS secara utuh sebagai satu kesatuan ekosistem. Penentuan sasaran DAS secara utuh ini dimaksudkan agar upaya penanganan kegiatan yang direncanakan dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan satu kesatuan perencanaan yang utuh, sekaligus berkaitan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi DAS yang di tinjau dari aspek penggunaan lahan, tata air, dan sosial ekonomi. Lingkup kegiatan pengelolaan  DAS dapat digolongkan menjadi empat sasaran, yaitu : (i) pengelolaan sumber daya air permukaan dan air tanah; (ii) pengelolaan lahan/tanah; (iii) pengelolaan vegetasi, hutan dan tanaman; dan (iv) pengelolaan aktifitas manusia.

IV. Prinsip Dasar Pengelolaan DAS

Menurut Sugiharto (2009), dalam pengelolaan DAS ada beberapa prinsip yang menjadi pegangan dalam pengelolaan DAS Terpadu, yakni sebagai berikut.
a.    Pengelolaan DAS berupa pemanfaatan, pemberdayaan, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumber daya dalam DAS.
b.   Pengelolaan DAS berlandaskan pada asas keterpaduan, kelestarian, kemanfaatan, keadilan, kemandirian (kelayakan usaha) serta akuntabilitas.
c.    Pengelolaan DAS diselenggarakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
d.   Pengelolaan DAS dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan dengan memperhatikan sistem pemerintahan yang desentralistis sesuai jiwa otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
e.    Satu sungai (dalam arti DAS) merupakan kesatuan wilayah hidrologi yang dapat mencakup beberapa wilayah administratif yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan yang tidak dapat diipisah-pisahkan;  
f.    Dalam satu sungai hanya berlaku Satu Rencana Kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;  
g.   Dalam satu sungai diterapkan Satu Sistem Pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan, strategi perencanaan serta operasionalisasi kegiatan dari hulu sampai hilir.
Keterpaduan tersebut diperlukan karena :
1.   Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan (multi sektor) dalam pengelolaan sumbar daya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam penggunaannya;
2.   Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari (bersifat multi disiplin) dan mencakup berbagai kegiatan;
3.   Meliputi daerah hulu sampai hilir.
Pengelolaan DAS terpadu mempunyai ciri pokok sebagai berikut :
4.   Sasaran yang jelas, yaitu suatu pencapaian hasil yang telah direncanakan dan diharapkan akan terjadi pada masa datang;
5.   Strategi waktu, yaitu penjadwalan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan setiap kegiatan dalam mewujudkan sasaran;
6.   Melibatkan berbagai sektor dan disiplin ilmu terkait, yaitu upaya melibatkan dan mengkoordinasikan peran serta sektor dan disiplin ilmu menuju sasaran secara bersama;
7.   Tumbuhnya motivasi setiap sektor, dengan mengacu kepada keterlibatan berbagai sektor dalam proses penetapan sasaran akan merangsang keinginan atau tekad untuk mencapai hasil.

V.    Sistem Menejemen Pengelolaan DAS Terpadu

Pengelolaan DAS secara Terpadu tidak terlepas dari bagaimana cara memenejemen secara keseluruhan dalam tubuh DAS. Fungsi menejemen pengelolaan DAS secara terpadu adalah untuk mempermudah dan melancarkan terrealisasinya pengelolaan DAS secara terpadu. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam system mejemen pengelolaan DAS, yaitu sebagai berikut.

A.    PERENCANAAN
Hal yang sangat perlu diperhatikan dalam perencanaan adalah bahwa perencanaan tidak selesai hanya dengan dihasilkannya dokumen rencana, tetapi sebagai proses yang berulang dan mengait dengan aktivitas-aktivitas pengelolaan DAS. Dalam pembuatan rencana pengelolaan DAS diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
o  Identifikasi karateristik Daerah Aliran Sungai (DAS) yang antara lain mencakup batas dan luas, topografi, geografi, tanah, iklim, kondisi hidrologi, penggunaan lahan, kerapatan drainase, sosial & ekonomi;
o  Identifikasi permasalahan yang meliputi aspek penggunaan lahan, tingkat kekritisan lahan, aspek hidrologi, sosial ekonomi dan kelembagaan
o  Perumusan tujuan dan sasaran
o  Identifikasi dan evaluasi alternatif kegiatan
o  Peyusunan rencana indikatif dan kegiatan
o  Legitimasi dan sosialisasi rencana.
Setelah rencana dilaksanakan maka perlu monitoring terhadap tujuan dan sasaran yang ditetapkan, sehingga memungkinkan adanya umpan balik dan revisi terhadap rencana yang telah disusun (Gambar 3).

Menurut  Pasaribu (1999), Rencana Kegiatan disusun untuk memberi gambaran yang jelas tentang : (1) tujuan kegiatan, (2) fungsi dan kedudukannya dalam pengelolaan DAS, (3) manfaat, (4) kurun waktu, (5) sifat, (6) cakupan wilayah, (7) pelaksana kegiatan, (8) pembiayaan, sarana dan prasarana yang diperlukan, (9) ketatalaksanaan/organisasi dan mekanisme  pelaksanaan, dan (10) institusi dan kelembagaan yang dibutuhkan.
Rencana kegiatan tersebut terinci pada masing-masing program dengan skala prioritas yang jelas, yaitu kegiatan untuk pengelolaan DAS (watershed management), kegiatan untuk menunjang pengelolaan sumber daya air (water resources management),dan kegiatan untuk pemberdayaan dan partisipasi masyarakat (empowering and public participation).
Kegiatan yang diprioritaskan dapat dipilih sesuai dengan aspek yang terkait dengan pengeloaan DAS, dan permasalahan yang menonjol pada DAS yang bersangkutan, misalnya:
a.       Pengeloaan DAS dan pengembangan sumber daya air
Kegiatan pengelolaan  DAS misalnya kegiatan RLKT yang perlu dilaksanakan di daerah hulu harus diintegrasikan dengan upaya pengembangan sumber daya air yang lebih banyak dilakukan di bagian tengah dan hilir.
b.      Pengelolaan DAS dan pengembangan wilayah
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, maka pengelolaan DAS sangat erat kaitannya dengan penataan ruang dan penatagunaan tanah, seperti penetapan kawasan lindung, budidaya dan kawasan tertentu. Penetapan fungsi kawasan ini berdasarkan pada hasil evaluasi kemampuan lahan agar produktif dan berkelanjutan. Oleh karena itu rencana pengelolaan DAS harus diintegrasikan kedalam Rencana Umum Tata Ruang Daerah.
c.       Penanggung biaya bersama (cost sharing)
Seperti telah dituangkan dimuka bahwa batas ekosistem DAS tidak berimpitan dengan batas administratif. Satu wilayah administratif secara geografis dapat terletak pada satu wilayah DAS atau sebaliknya. Apabila hal ini terjadi, diperlukan identifikasi tentang wilayah administratif yang termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Disamping itu Dengan adanya keterkaitan hulu dan hilir perlu juga dilakukan identifikasi, penentuan lokasi, kategori dan bentuk aktifitas stakeholders dalam DAS.
d.      Selanjutnya dirumuskan kebijakan pengelolaan DAS yang dipertimbangkan mekanisme, regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip insentif dan disinsentif terhadap stakeholders sesuai dengan kategori dan kedudukannya dalam perspektip prinsip pembiayaan bersama (cost sharing principle). Dengan demikian pelaksanaan kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu DAS dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan adanya biaya dari stakeholders yang mendapat manfaat sebagai akibat adanya kegiatan tersebut.

Agar rencana yang dibuat dapat mengikat semua stakeholders untuk mengimplementasikannya, maka penyusunan rencana harus melibatkan semua stakeholders (partisipasi) dan rencana yang dihasilkan harus berkekuatan hukum. Misalnya rencana dibuat dalam bentuk Peraturan Daerah. Tahap selanjutnya adalah distribusi dan sosialisasi rencana kepada semua stakeholders agar dapat diketahui, dipahami dan diimplementasikan sesuai dengan tujuan yag diinginkan.

B. PENGORGANISASIAN

Selama ini sejumlah kegiatan dan proyek yang berkaitan dalam pengelolaan DAS telah dilaksanakan oleh instansi-instansi yang mengurus Pemukiman Sarana Prasarana Wilayah (Pekerjaan Umum), Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Dalam Negeri, Badan Pertahanan Nasional, Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Pertambangan dan Energi dan pihak-pihak lainnya. Masing-masing instansi mempunyai pendekatan yang berbeda dalam kegiatan pengelolaan DAS baik dalam unit perencanaan maupun implementasinya sehinnga dapat dikatakan bahwa pengelolaan DAS merupakan hal yang sangat kompleks baik ditinjau dari banyaknya pihak yang terlibat maupun aspek-aspek yang ada di dalam suatu DAS. Dengan kondisi demikian, maka dibutuhkan suatu sistem yang dapat menciptakan percepatan dalam pengelolaan DAS secara ideal.
Pengalaman selama ini menujukkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga tersebut cenderung bersifat sektoral, dan oleh karenanya, seringkali terdapat tabrakan kepentingan (conflict of interest) antar lembaga yang terlibat dalam pengelolaan DAS. Untuk menghindari terjadinya tabrakan kepentingan, diperlukan klarifikasi dan identifikasi secara jelas tentang tugas dan wewenang masing-masing lembaga dalam menjalankan fungsinya. Selain masalah tabrakan kepentingan, masalah lain yang umum terjadi dalam pengelolaan sumber daya yang melibatkan banyak lembaga adalah masalah kerjasama dan koordinasi antar lembaga. Oleh karena itu, pengaturan kelembagaan dan regulasi yang mengatur mekanisme kerja antar lembaga tersebut harus disiapkan dengan matang sehingga dapat menghasilkan pola kerjasama dan koordinasi yang optimal.
Menyadari adanya keterbatasan dalam hal kapasitas kelembagaan dan besarnya tingkat kesulitan dalam melaksanakan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, terutama dalam sistem pengelolaan yang mengandalkan pada pola kerjasama dan koordinasi antar lembaga, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah:
a.       melakukan identifikasi dan membuat daftar seluruh lembaga dan pihak yang terkait (stakeholders) dengan pelaksanaan pengelolaan DAS termasuk masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS;
b.      melakukan identifikasi tugas dan wewenang masing-masing lembaga dan pihak yang terlibat (stakeholders);
c.       merumuskan bentuk lembaga atau badan pengelola DAS yang sesuai dengan kondisi dan letak geografis DAS.
Bentuk lembaga pengelola DAS dalam arti mempunyai tugas operasional dapat dipilih dari tiga bentuk lembaga sebagai berikut:
a.       Badan Koordinasi sebagai koordinator adalah instansi yang berwenang mengkoordinasikan penyelenggaraan pengelolaan DAS. Pelaksana operasional dan pemeliharaan dilaksanakan oleh instansi fungsional terkait.
b.      Badan Otorita, Badan ini dibentuk oleh pemerintah sebagai pelaksana dengan tugas mengurus dan mengusahakan pemberdayaan Daerah Aliran Sungai dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh Forum Air (Komite DAS).
c.       Badan Usaha, Badan Usaha (dalam bentuk BUMN atau BUMD) dibentuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang ditugasi mengusahakan DAS sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Forum Air (Komite DAS).
Kebijakan pengelolaan DAS yang meliputi aspek planning-programming-controling-budgeting dilaksanakan oleh tim yang berbentuk Dewan atau Forum DAS.
a.    Tingkatan Dewan DAS, Dewan DAS dibentuk dalam beberapa tingkatan sebagai berikut:
1.   Lingkup Nasional (Dewan DAS Nasional), Berfungsi menetapkan kebijakan, strategi dan program pengelolaan DAS pada tingkat nasional.
2.   Lingkup Regional (Forum DAS Propinsi), Berfungsi menetapkan kebijakan, strategi dan program pengelolaan DAS pada tingkat regional.
3.   Lingkup Lokal (Forum DAS Daerah), Berfungsi menetapkan kebijakan, strategi, program, pelaksanaan dan pembiayaan pengelolaan DAS pada tingkat DAS atau Kabupaten/Kota
4.   Tingkatan Dewan dan Forum DAS, Keanggotaan Dewan DAS tersebut terdiri atas wakil seluruh stakeholders, yaitu :
·      Dewan DAS Nasional : Wakil Departemen dan Lembaga Tinggi Negara terkait, Pakar/Pemerhati dan wakil pemanfaat untuk tingkat nasional.
·      Forum DAS Regional : Gubernur atau pejabat yang ditunjuk (sebagai ketua), instansi yang mengurusi bidang-bidang pengairan, kehutanan, pertanian dan pengendalian dampak lingkungan, instansi yang mengurusi perencanaan pembangunan (sebagai sekretaris), dengan anggota : Bupati/Walikota terkait, wakil pemanfaat (sesuai sektor masing-masing), pemuka masyarakat, pakar/pemerhati (dari Perguruan Tinggi) dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang relevan di tingkat DAS yang bersangkutan.
·      Forum DAS Lokal : Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk (sebagai ketua), instansi yang mengurusi bidang-bidang pengairan, kehutanan, pertanian dan pengendalian dampak lingkungan, instansi yang mengurusi perencanaan pembangunan daerah Kabupaten/Kota (sebagai Sekretaris), dengan anggota : wakil pemanfaat (sesuai sektor masing-masing), pemuka masyarakat, pakar/pemerhati (dari Perguruan Tinngi) dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang relevan di tingkat DAS.

Pengelolaan DAS terpadu pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai sektor/sub sektor yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam pada suatu DAS, sehinnga diantara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggung jawab dan saling mempunyai ketergantungan (interdependency). Demekian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tapi harus ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan dan semua yang berkepentingan dengan kelestariannya.
Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS harus mengikuti prinsip-prinsip dasar hidrologi. Dalam sistem Hidrologi DAS, komponen masukan utama terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar didalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia.


D.    PENGAWASAN

Pengawasan dilakukan oleh smua pihak yang terlibat langsung dalam pengelolaan DAS, yakni pemerintah/pengambil kebijakana, akademisi, pengelolaa, masyarakat sekitar DAS, LSM (Lembaga Swada Masyarakat) yang berkaitan dan lain sebagainya. Maksud dengan adanya pengawasan ini adalah agar pengelolaan DAS berjalan dengan baik dan terkontrol.



III. PENUTUP


Adapun yang dapat kita simpulkan dari hasil makalah mengenai Kebijakan dan Peraturan Dalam Pengelolaan DAS Terpadu, adalah sebagai berikut.

1.   Menyelenggarakan pengelolaan DAS yang disesuaikan dengan perkembangan dan pergeseran paradagima dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjuta dengan perumusan program dan kegiatan disamping harus berorientasi pada pencapaian tujuan dan sasaran, juga harus disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi dengan mempertimbangkan pergeseran paradigma, karateristik DAS, peraturan/perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip dasar pengelolaan DAS. Uraian secara sistematis dan rinci tentang pengelolaan DAS terpadu disajikan dalam kerangka piker
2.   Persamaan persepsi dan langkah dalam penyelenggaran pengelolaan DAS sesuai dengan karateristik ekosistemnya, sehingga pemanfaatan sumber daya alam dapat berlangsung secara optimal, berkeadilan, dan berkelanjutandirealisasikan dengan adanya pengelolaan DAS berlandasan dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku serta pengelolaan DAS dengan menggunakan sistem menejemen sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan tata aturan yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA


Acuan Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Acuan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Nomor : P.39/Menhut-II/2009 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu.
Asdak, C. 1999. “DAS sebagai Monitoring dan Evaluasi Lingkungan: Air srbagai Indikator Sentral”, Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.
Kartodihardjo, H., dan Murtilaksono, H.S. 2000. Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Bogor. K3SB.
Pasaraibu,H.S. 1999. “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Konservasi Tanah dan Air”, Seminar Sehari PERSAKI DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumber Daya Air, 21 Desember 1999. Jakarta.
Pawitan. 2004. Degradaasi dan Perubahan Lingkungan Akibat Penggunaan Lahan. http://www.bappenas.go.id/files/1213/5053/3289/17kajian-model-pengelolaan-daerah-aliran-sungai-das-terpadu__20081123002641__16.pdf. Diakses Pada Tanggal 27 Desember 2013 Pukul 12.19 WIB
Sarjadi, Soegeng. 2001. Metologi perencanaan DAS dalam Otonomi Potensi Masa Depan Republik Indonesia. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sinukaban. 2007. Pembangunan Daerah Berbasis Strategi Pengelolaan DAS. Makalah pada Semiloka Pengelolaan DAS “Pembangunan Daerah Berbasis Daerah Sungai”, Lampung 13 Desember.
Sugiharto. 2009. “Prinsip Pengelolaan DAS Terpadu”. Cet. Kel-II. USU Press, Medan. hlm 53.

Faktor-faktor Penyebab Illegal Logging di Indonesia

A. Latar Belakang  Illegal Logging Illegal logging atau pembalakan liar yang dilakukan di dalam maupun di luar kawasan hutan sepertinya ...